Oleh Abu Ubaidah Al-Qossam (penulis lepas)
Thalal At-Trisi, seorang pakar Iran dari Lebanon, dalam bukunya “Jumhuriyyah Ash-Shabbah”, mengatakan bahwa ada tiga hal yang saat ini dimiliki oleh Iran, dan tidak dimiliki oleh negara-negara lainnya, yaitu:
[1] Pendirian sistem islami setelah terjadi revolusi
[2] Kebijakan dan sikap tatanan baru Iran yang memusuhi Israel, dan Israel dianggap sebagai “Al-Ghuddah As-Surthâniyah”, kelenjer kanker yang harus dihilangkan dan diamputasi.
[3] Sikap pemerintahan Iran yang senantiasa kontra dengan Amerika Serikat (Asy-syaitân Al-Akbar).
Tiga hal inilah yang menyebabkan Iran senantiasa menjadi pusat perhatian dunia. Ia juga menjadi kata kunci stabilitas keamanan Timur-Tengah.
Pasca Revolusi tahun 1979, Iran berubah menjadi negara Republik Islam Iran, sebuah pendekatan demokrasi Barat dengan konsep Wilâyatul-Faqîh atau konsep imâmah dalam Syiah Islam. Dari sini banyak pengamat menggap Iran sebagai negara semi demokrasi. Konsep republik telah dimodifikasikan dengan konsep Wilâyatul-Faqîh, kepemimpinan para ulama.
Menurut Ayatullah Khomeini, sekalipun pemerintahan adalah rakyat, namun sumber hukum berasal dari Tuhan. Karena itu segala konstitusi dan perundang-undangan harus mengacu pada hukum Tuhan yang tertera dalam Al-Qur’an dan Sunnah Rasul, serta ijtihâd para ulama yang dalam hal ini adalah sang faqîh.
Dalam konsep demokrasi Barat, ada pembagian kekuasaan (separation of power) yang dikenal dengan istilah “trias politika”. Tiga lembaga ini adalah kekuasaan eksekutif atau kekuasaan melaksanakan undang-undang (application function), kekuasaan legislatif yaitu kekuasaan membuat undang-undang (rule making function), dan kekuasaan yudikatif atau kekuasaan mengadili atas pelanggaran undang-undang (rule adjuction function).
Demikian juga konsep Wilâyatul-Faqîh yang dikembangkan oleh Imam Khomeini dengan membagi kekuasaan pelaksanaan pemerintah Islam kepada tiga lembaga negara yaitu lembaga eksekutif, lembaga legislatif dan lembaga yudikatif. Walaupun demikian, dalam konsep Wilâyatul-Faqîh, hanya faqîh (Al-Mursyid) yang memegang otoritas tertinggi, semua kekuasaan bersumber dari kedudukannya sebagai mujtahid tertinggi yang memiliki kewenangan dalam menafsirkan hukum. Dan semua lembaga tadi berada di bawah kekuasaan sang imam.
Jabatan presiden, walaupun dipilih secara demokrasi oleh rakyat Iran, dalam konsep Wilâyatul-Faqîh, posisi presiden tetap berada di bawah kontrol Pemimpin Spiritual (Al-Mursyid). Namun jabatan presiden dalam hal menjalankan pemerintahan di Iran tetap menjadi lambang orang nomor satu. Hal ini yang menjadikan pemilihan presiden menjadi berbeda dengan pemilihan lembaga-lembaga negara lainnya.
Dalam sejarah pemilihan presiden di Iran, ada dua kelompok besar yang menjadi kompetitor dalam memperebutkan jabatan ini. Dua kelompok ini adalah perwakilan dari berbagai partai dan organisasi yang memiliki afiliasi politik. Kelompok pertama adalah kelompok konservatif dan kelompok kedua adalah kelompok reformis.
Krisis Iran pasca pemilihan presiden Iran (Juni 2009) adalah akumulasi dari gesekan dan persaingan dua kubu ini yang mengkristal menjadi gerakan demonstrasi di berbagai sudut kota Iran. Usai pemilihan presiden yang dimenangkan Ahmadinejad dari kubu konservatif, tak pelak hal ini menjadi kekalahan kubu reformis. Kubu ini kemudian berspekulasi dan menganggap bahwa pemilihan umum kali ini diwarnai kecurangan dari kubu Ahmadinejad yang juga sementara menjabat sebagai presiden.
Demonstrasi kekecewaan ini menjadi sorotan konsentrasi dunia internasional, karena demonstrasi ini kemudian disikapi oleh pemerintah Iran dibawah pemerintahan Presiden Mahmoud Ahmadinejad, dengan barisan keamanan, dimana hal ini mengakibatkan jatuhnya puluhan korban meninggal dunia.
Demostrasi puluhan ribu yang memenuhi jalan-jalan Iran beberapa minggu, mengingatkan pemerintah Iran dengan peristiwa beberapa dekade yang lalu (1953), yaitu peristiwa penggulingan Perdana Menteri Mohammad Mossadegh yang terpilih secara demokratis, namun karena sikapnya yang menasionalisasikan minyak, hal ini dianggap sangat merugikan kepentingan AS, hingga CIA membuat skenario manjatuhkan Mohammad Mossadegh.
Operasi menggulingkan Mossadegh ini dikenal dengan “operasi Ajax”. CIA membuat kerusuhan di dalam negeri Iran dengan mendalangi aksi-aksi pengeboman dan pembunuhan, lalu pemerintahan Mossadegh dituduh sebagai pelaku semua tragedi berdarah itu. Selama masa “Operasi Ajax”, CIA menyuap para pejabat pemerintahan Iran, para bisnismen, reporter, serta membayar orang-orang Iran untuk turun melakukan aksi demonstrasi menentang Mossadegh.
Para demonstrasi saat itu menggunakan simbol warna hijau sebagai lambang perlawanan, dan akhirnya Mossadegh tumbang yang kemudian digantikan oleh Shah Pahlevi. Dan akhirnya minyak dan gas kembali ke pangkuan perusahaan-perusahaan minyak AS.
Kekisruhan politik Iran dengan gelombang demonstrasi pasca-pemilu Juni 2009 menggunakan simbol warna yang sama pada peristiwa penggulingan Mossadegh tahun 1953. “Revolusi Hijau” sebagai lambang protes dan penentangan terhadap pemerintah yang dianggap oleh kubu dan para pengusung reformasi telah melakukan kecurangan dalam pesta demokrasi Iran.
Untuk mengetahui permasalahan yang terjadi di Iran, perlu rasanya kembali membalik halaman sejarah. Khususnya sejarah Iran pasca Revolusi Islam Iran 1979 sampai saat ini.
Dalam perjalanan sejarah Iran, ada perbedaan corak sejarah yang sangat mencolok antara sejarah Iran sebelum Revolusi 1979 dan sejarah Iran pasca-Revolusi 1979, dimana pasca revolusi dominasi pengaruh AS dalam negeri Lembah Kaspia ini mulai meredup dan hampir lenyap sama sekali. Hal kedua yang juga sangat penting untuk diketahui adalah piranti-piranti yang turut mempengaruhi dan mengatur perjalanan Iran pasca Revolusi 1979. Untuk hal itu, perlu diketahui peta perpolitikan serta kelompok-kelompok yang berseteru dan berperan penting dalam pesta demokrasi di Iran.